Khoirul Andiani*
Metode dialektika (bahasa
Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau
dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates.
Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui
pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian
ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan
logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang
bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan
yang umum.
Ketika Thales mengatakan
bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara
dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara
dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran
yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu
terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau
rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah
manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak
(obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing
manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga
berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah
faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika
atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada
hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya
adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak
punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar
pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh
kepada kaum sofis[1][7], yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains
maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang
menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari
keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia
disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan
ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap
sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil
pemikiran tentang relativisme ini.
Dalam kondisi seperti itu,
muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang
hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama
dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika,
Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang
merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada
dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus
diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang
bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog,
dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada
tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka
memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri
yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran
obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.
Sebagai contoh misalnya,
orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus
mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan
ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu
jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan
sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa
lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga
dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau
penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri,
yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri
lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan
sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah
kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan
ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau
relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu
kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan
ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari
kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian pendapat Socrates
bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif
(mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah
sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato
kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang
induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran
obyektif itu sudah ada di alam ide.
Penulis adalah mahasiswa aktif FEB UMS semester 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar