Welcome to My Blog!

This is Boxer Template Demo Site
Follow Me

Dialektika kebenaran subjektif dan obyektif



By  Unknown     04.35     
        Khoirul Andiani*
         Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[1][7], yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme ini.

Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.

Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.

Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.
Penulis adalah mahasiswa aktif FEB UMS semester 3





About Unknown

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Maecenas euismod diam at commodo sagittis. Nam id molestie velit. Nunc id nisl tristique, dapibus tellus quis, dictum metus. Pellentesque id imperdiet est.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *