Welcome to My Blog!

This is Boxer Template Demo Site
Follow Me
Hasil review mengenai paper pengaruh pajak terhadap perekonomian.
Ada beberapa yang kami soroti terkait isi review pada kesempatan ini.
Pada paragraf ini menurut pandangan kelompok kami ada sedikit keganjalan terhadap salah satu statmen yaitu tentang pengaruh pajak terhadap distribusi pendapatan Dari teori ekonomi makro, dikemukakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan  semakin rendah hasrat untuk mengadakan konsumsi pendapatan. hal ini menurut kami malah bertolak belakang dengan realita yang ada. pasalnya semakin tinggi pendapat seseorang maka hasrat untuk mengkonsumsi juga akan meningkat. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa kelompok kaya inilah yang sanggup membentuk tabungan dan kemudian mengadakan investasi apabila diadakan distribusi pendapatan yang lebih merata, maka ini akan berarti menurunkan tingkat tabungan masyarakat yang berarti pola mengurangi dana yang tersedia untuk investasi. Dengan kata lain kelopmok miskin tidak mempunyai kemampuan untuk mengadakn tabungan dan investasi.
            Pajak juga berpengaruh terhadap produksi suatu barang, jika pajak tinggi maka harga barang yg dikenai pajak yang tinggi itupun juga akan naik, akibatnya pmbeli akan mempertimbangkan kembali untuk membeli barang tersebut. sehingga perusahaan akan mengalami penurunan jumlah penjualan barang yang akan berdampak pada pendapatan serta gaji karyawan. apabila pajak naik maka gaji karyawan juga harus dinaikka, sebab kalau gaji itu tidak dinaikkan maka para karyawan akan menjadi malas untuk bekerja / pekerjaannya tidak akan optimal. karena mereka pasti akan memikirkan mengapa mereka harus tetap bekerja secara optimal jika mereka hanya mendapat gaji yang sama, padahal mereka juga dikenai pajak yang tinggi. jadi perusahaan juga harus mempertimbangkan untuk memberikan nilai lebih kepada karyawan yang rajin agar karyawan itu tetap bekerja dengan optimal. jika perusahaan menetapkan prisip itu, maka karyawan akan berpikir dua kali apabila mereka tidak bekerja dengan optimal.
            Pajak juga berpengaruh terhadap perilaku ekonomi seseorang. Penetapan pajak terhadapa satu orang dengan  orang yang lain itu beda. Misal A berpendapatan Rp 5.000.000,00 / bulan dan B berpendapatan Rp 50.000.000,00 / bulan, maka pajak pendapatan yang dikenakan terhadap A dan B akan berbeda.
Fungsi pokok dari perpajakan adalah untuk menekan berbagai permintaan akan kapasitas produktif dari sistem kegiatan sosial. Dengan demikian, perpajakan mempunyai tujuan lain, di samping sebagai sumber pendapatan negara. Perpajakan yang eifisien dilaksanakan dengan suatu cara yang dapat membantu pembagian pendapatan yang lebih merata, dapat membantu untuk memberikan dorongan tingkat pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kebijaksanaan pengeluaran anggaran yang dilaksanakan oleh sistem administrasi.
Disusun oleh:
1. Khoirul Andiani                (B300130110)
2. Ilham Basuki R. H             (B100130060)

3. Yurinda Citra Respati       (B300130066)


        Khoirul Andiani*
         Metode dialektika (bahasa Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates. Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan yang umum.
Ketika Thales mengatakan bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak (obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh kepada kaum sofis[1][7], yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil pemikiran tentang relativisme ini.

Dalam kondisi seperti itu, muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika, Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog, dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.

Sebagai contoh misalnya, orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri, yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.

Demikian pendapat Socrates bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif (mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran obyektif itu sudah ada di alam ide.
Penulis adalah mahasiswa aktif FEB UMS semester 3





Khoirul Andiani*
Masih teringat diskusi hangat bersama kawan-kawan kemarin tanggal 03 Nov 2014 di hall FEB UMS membahas mengenai permasalahan dalam berorganisasi. Dalam diskusi tersebut ada statmen yang menggelitik dalam diri saya mengenai tawaran atau solusi ketika organisasi itu muncul ketidak harmonisan. Kawan saya menyatakan bahwa ketika muncul ketidak harmonisan dalam beroganisasi minimallah masih ada yang sadar dalam organisasi tersebut. Statmen ini yang menimbulkan pertanyaan pada saya apakah dengan segampang itu menyelesaikan masalah dalam berorganisasi? dan ketika hal yang minimal itupun sudah tidak ada pada anggota organisasi, dapat dikatakan yang seperti apakah organisasi tersebut?
Sedikit meminjam gagasan Paulo freire terkait sebuah kesadaran. Paulo freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi menjadi 3 (tiga) golongan, yakni: Pertama; Kesadaran Magis (magical consciousness) adalah suatu kesadaran yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra-natural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan. Kedua; Kesadaran Naif (naival consciusness), keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Ketiga; Kesadaran Kritis (critical consciousness), kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Dari teori kesadaran Paulo freire tersebut bisa di pastikan bahwa kesadaran pun trnyata masih terbagi sesuai keadaan psikologis manusia. Dari permasalah di atas syukur kalau kesadaran yang masih ada dalam anggota organisasi tersebut dalam fase kesadarn kritis yang notabene fase ini mampu melihat segala sisi dari suatu masalah, sehingga kemungkinan besar masalah bias teratasi, akan tetapi bisa di pasatikan organisai ini akan mengalami stagnanisisai ketika anggota organisasi tersebut berada dalam fase magis karena hal ini pasti akan muncul saling mencurigai, menyalahkan antara satu dengan yang liannya. Maka hal ini yang menjadi jawaban akan statmen di atas, mungkin perlu di gali kembali kesadaran minimal yang seperti apa yang terpatri dalam anggota organisasi masing-masing.
Pendapat penulis bahwa ketika seseorang sudah terikat dalam suatu organisasi maka yang jadi pegangan disana bukan lagi subuah kesadaran baik itu ada kata minimal maupun maksimal, akan tetapi yang jadi pegangan atau yang jadi pertanyaan bahwa seberapa jauhkah tangguangjawab anggota tersebut dalam mengemban tugasnya atau seberapakah kesetiaannya dalam ucapan sakralnya ketika di sumpah dalam pelantikan. bukan lagi kesadaran lagi yang di persoalakan melainkan tanggungjawab yang harus di kedapankan.

*Penulis adalah Mahasiswa FEB UMS semester 3

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *