Hasil review mengenai paper pengaruh
pajak terhadap perekonomian.
Ada beberapa yang kami soroti
terkait isi review pada kesempatan ini.
Pada paragraf ini menurut pandangan
kelompok kami ada sedikit keganjalan terhadap salah satu statmen yaitu tentang pengaruh pajak
terhadap distribusi pendapatan Dari teori ekonomi makro, dikemukakan
bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan semakin rendah hasrat untuk
mengadakan konsumsi pendapatan. hal ini menurut kami malah bertolak belakang
dengan realita yang ada. pasalnya semakin tinggi pendapat seseorang maka hasrat
untuk mengkonsumsi juga akan meningkat. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa
kelompok kaya inilah yang sanggup membentuk tabungan dan kemudian mengadakan
investasi apabila diadakan distribusi pendapatan yang lebih merata, maka ini
akan berarti menurunkan tingkat tabungan masyarakat yang berarti pola
mengurangi dana yang tersedia untuk investasi. Dengan kata lain kelopmok miskin
tidak mempunyai kemampuan untuk mengadakn tabungan dan investasi.
Pajak juga berpengaruh terhadap
produksi suatu barang, jika pajak tinggi maka harga barang yg dikenai pajak
yang tinggi itupun juga akan naik, akibatnya pmbeli akan mempertimbangkan
kembali untuk membeli barang tersebut. sehingga perusahaan akan mengalami
penurunan jumlah penjualan barang yang akan berdampak pada pendapatan serta
gaji karyawan. apabila pajak naik maka gaji karyawan juga harus dinaikka, sebab
kalau gaji itu tidak dinaikkan maka para karyawan akan menjadi malas untuk
bekerja / pekerjaannya tidak akan optimal. karena mereka pasti akan memikirkan
mengapa mereka harus tetap bekerja secara optimal jika mereka hanya mendapat
gaji yang sama, padahal mereka juga dikenai pajak yang tinggi. jadi perusahaan
juga harus mempertimbangkan untuk memberikan nilai lebih kepada karyawan yang
rajin agar karyawan itu tetap bekerja dengan optimal. jika perusahaan
menetapkan prisip itu, maka karyawan akan berpikir dua kali apabila mereka
tidak bekerja dengan optimal.
Pajak juga berpengaruh terhadap
perilaku ekonomi seseorang. Penetapan pajak terhadapa satu orang dengan orang yang lain itu beda. Misal A
berpendapatan Rp 5.000.000,00 / bulan dan B berpendapatan Rp 50.000.000,00 /
bulan, maka pajak pendapatan yang dikenakan terhadap A dan B akan berbeda.
Fungsi
pokok dari perpajakan adalah untuk menekan berbagai permintaan akan kapasitas
produktif dari sistem kegiatan sosial. Dengan demikian, perpajakan mempunyai
tujuan lain, di samping sebagai sumber pendapatan negara. Perpajakan yang
eifisien dilaksanakan dengan suatu cara yang dapat membantu pembagian
pendapatan yang lebih merata, dapat membantu untuk memberikan dorongan tingkat
pertumbuhan ekonomi dan memperkuat kebijaksanaan pengeluaran anggaran yang
dilaksanakan oleh sistem administrasi.
Disusun oleh:
1. Khoirul Andiani (B300130110)
2. Ilham Basuki R. H (B100130060)
3. Yurinda Citra Respati (B300130066)
Khoirul Andiani*
Metode dialektika (bahasa
Yunani dari kata kerja dialegesthai = bercakap-cakap atau dialog) atau
dikenal juga dengan metode kritis ini pertama kali dimunculkan oleh Socrates.
Metode ini bersifat analisis terhadap suatu istilah dan pendapat melalui
pertanyaan atau dialog kesana kemari untuk membanding-bandingkan, kamudian
ditemukan suatu kesimpulan yang hakiki. Dengan metode ini Socrates menemukan
logika induksi dan definisi. Logika induksi adalah pemikiran yang
bertolak dari pengetahuan khusus (contoh kongkret) lalu memberikan kesimpulan
yang umum.
Ketika Thales mengatakan
bahwa dasar alam semesta adalah air, kemudian Anaximenes mengatakan udara
dan yang lain menyebutkan terdiri dari empat unsur : tanah, air, udara
dan api, lama kelamaan akhirnya memunculkan berbagai hasil pemikiran
yang membingungkan – terutama di kalangan orang awam. Puncak kebingungan itu
terlihat pada tokoh sofisme terbesar bernama Protagoras melalui konsep atau
rumus relativisme. Menurut dia bahwa ukuran kebenaran adalah
manusia dan kebenaran itu bersifat relatif, tidak ada kebenaran yang mutlak
(obyektif atau hakiki). Ukuran kebenaran adalah menurut pandangan masing-masing
manusia, “benar itu menurutku dan menurutmu”. Pemikiran relativisme ini juga
berpengruh pada keyakinan agama orang Athena waktu itu, sehingga berkembanglah
faham bahwa tidak ada kebenaran yang pasti tentang pengetahuan, tentang etika
atau moral, metafisika, baik dan buruk, termasuk juga kebenaran agama, yang ada
hanyalah kebenaran yang relatif atau subyektifitas. Sebagai akibat selanjutnya
adalah bahwa mereka, terutama para pemuda, menjadi orang bingung yang tidak
punya pegangan : sendi-sendi agama telah digoyahkan sementara dasar-dasar
pengetahuanpun ikut terguncang. Cara berfikir seperti itu pada umumnya jatuh
kepada kaum sofis[1][7], yaitu kelompok orang yang kurang terpelajar, baik di bidang sains
maupun filsafat, namun mereka cukup populer. Mereka adalah orang-orang yang
menjual kebijakan untuk memperoleh materi, mereka siap menolong para pencari
keadilan asalkan mendapat bayaran. Apabila seorang sofis datang ke Athena, ia
disambut dengan hangat oleh murid-murid atau pengikutnya untuk mendengarkan
ceramhnya yang dianggap sebagai sesuatu yang tidak mungkin salah bahkan dianggap
sebagai wahyu. Mereka sudah terlalu fanatik terhadap ajaran atau hasil
pemikiran tentang relativisme ini.
Dalam kondisi seperti itu,
muncullah seorang filsuf baru – yang juga orang Yunani – bernama Socrates yang
hidup pada kira-kira tahun 470 – 399 SM. Dia termasuk orang yang taat beragama
dan memahami dasar-dasar pengetahuan. Dengan menggunakan metode dialektika,
Socrates menemukan dan membuktikan adanya kebenaran yang obyektif yang
merupakan esensi di dalam defenisi. Menurut dia kebenaran relatif memang ada
dan perlu dipegang, akan tetapi kebanaran yang obyektif juga ada dan harus
diyakini. Dalam mencari kebenaran, Socrates menggunakan metode tertentu yang
bersifat praktis dan dijalankan melalui percakapan-percakapan (dialog,
dialektika), misalnya dia bertanya tentang arete (keutamaan) kepada
tukang besi, negarawan, filsuf, pedagang dan lain sebagainya. Tentu saja mereka
memberikan jawaban yang berbeda tentang ciri keutamaan itu, namun juga ada ciri
yang mereka sepakati. Ciri yang disepakati itulah definisi atau kebenaran
obyektif, sedangkan ciri yang tidak disepakati adalah kebenaran suyektif.
Sebagai contoh misalnya,
orang bertanya “apakah kursi itu ?”. Untuk menjawabnya terlebih dahulu harus
mengumpulkan semua kursi yang ada. Pertama kita menemukan kursi hakim dengan
ciri ada tempat duduk dan ada sandaran, kakinya empat dan terbuat dari kayu
jati. Selanjutnya kita menemukan kursi malas dengan ciri ada tempat duduk dan
sandaran, kakinya dua dan terbuat dari besi antikarat, kemudian kita periksa
lagi kursi makan yang memiliki ciri ada tempat duduk dan sandaran, kakinya tiga
dan terbuat dari rotan, begitu seterusnya. Dari hasil pengamatan atau
penyelidikan tersebut kita mendapatkan ciri-ciri umum dari kursi itu sendiri,
yaitu bahwa setiap kursi memiliki tempat duduk dan sandaran, sedangkan ciri
lain tidak terdapat pada semua kursi. Dengan ciri umum tersebut orang akan
sepakat bahwa kursi adalah tempat duduk yang memiliki sandaran. Nah, inilah
kebenaran yang obyektif. Tentang jumlah kaki, bahan kursi dan lainnya merupakan
ciri khusus dari kursi tertentu yang merupakan kebenaran subyektif atau
relatif. Dari ciri umum ini orang akan sepakat dan mengerti tentang apa itu
kursi, sehingga ketika kita memesan kursi kepada tukang kursi cukup menyebutkan
ciri-ciri yang khusus saja, misalnya kursi dengan kaki empat yang terbuat dari
kayu jati, sedangkan sandaran dan tempat duduknya tidak perlu disebutkan.
Demikian pendapat Socrates
bahwa kebenaran itu ada yang relatif (subyektif) dan ada pula yang obyektif
(mutlak). Teori atau ajaran Socrates ini diperkuat dan dikembangkan oleh salah
sorang teman yang sekaligus muridnya bernama Plato. Hanya saja menurut Plato
kebenaran umum (definisi, obyektif) itu bukan dibuat dengan cara dialog yang
induktif sebagaimana dihasilkan oleh Socrates. Menurut Plato bahwa kebenaran
obyektif itu sudah ada di alam ide.
Penulis adalah mahasiswa aktif FEB UMS semester 3
Khoirul Andiani*
Masih teringat diskusi
hangat bersama kawan-kawan kemarin tanggal 03 Nov 2014 di hall FEB UMS
membahas mengenai permasalahan dalam berorganisasi. Dalam
diskusi tersebut ada statmen yang menggelitik dalam diri saya mengenai tawaran
atau solusi ketika organisasi itu muncul ketidak harmonisan. Kawan saya
menyatakan bahwa ketika muncul ketidak harmonisan dalam beroganisasi minimallah
masih ada yang sadar dalam organisasi tersebut. Statmen ini yang menimbulkan
pertanyaan pada saya apakah dengan segampang itu menyelesaikan masalah dalam
berorganisasi? dan ketika hal yang minimal itupun sudah tidak ada pada anggota
organisasi, dapat dikatakan yang seperti apakah organisasi tersebut?
Sedikit meminjam gagasan
Paulo freire terkait sebuah kesadaran. Paulo freire menggolongkan
kesadaran manusia menjadi menjadi 3 (tiga) golongan, yakni: Pertama; Kesadaran
Magis (magical consciousness) adalah suatu kesadaran yang tidak mampu
melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat
miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem
politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia
(natural maupun supra-natural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan. Kedua;
Kesadaran Naif (naival consciusness), keadaan yang dikategorikan dalam
kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah
masyarakat. Ketiga; Kesadaran Kritis (critical consciousness), kesadaran
ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Dari
teori kesadaran Paulo freire tersebut bisa di pastikan bahwa kesadaran pun
trnyata masih terbagi sesuai keadaan psikologis manusia. Dari permasalah di atas
syukur kalau kesadaran yang masih ada dalam anggota organisasi tersebut dalam
fase kesadarn kritis yang notabene fase ini mampu melihat segala sisi dari
suatu masalah, sehingga kemungkinan besar masalah bias teratasi, akan tetapi
bisa di pasatikan organisai ini akan mengalami stagnanisisai ketika anggota
organisasi tersebut berada dalam fase magis karena hal ini pasti akan muncul
saling mencurigai, menyalahkan antara satu dengan yang liannya. Maka hal ini
yang menjadi jawaban akan statmen di atas, mungkin perlu di gali kembali
kesadaran minimal yang seperti apa yang terpatri dalam anggota organisasi
masing-masing.
Pendapat
penulis bahwa ketika seseorang sudah terikat dalam suatu organisasi maka yang
jadi pegangan disana bukan lagi subuah kesadaran baik itu ada kata minimal
maupun maksimal, akan tetapi yang jadi pegangan atau yang jadi pertanyaan bahwa
seberapa jauhkah tangguangjawab anggota tersebut dalam mengemban tugasnya atau
seberapakah kesetiaannya dalam ucapan sakralnya ketika di sumpah dalam
pelantikan. bukan lagi kesadaran lagi yang di persoalakan melainkan
tanggungjawab yang harus di kedapankan.
*Penulis
adalah Mahasiswa FEB UMS semester 3